laporan praktikum

agribisnis hulu-hilir

• Agribisnis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari lima komponen yaitu 1. Agroinput atau agribisnis hulu 2. Usahatani 3. Agribisnis...

Jumat, 28 April 2017

POLA KEMITRAAN SEKTOR AGRIBINIS

MAKALAH AGRIBISNIS
“POLA KEMITRAAN SEKTOR AGRIBINIS”


DOSEN PENGAMPU :
Ir. Jamaluddin
DISUSUN OLEH:
RIZKI RAMADHANI (D1A016128)
RAHMAT HIDAYAT (D1A016129)
TRI PERMABA PUTRA (D1A016130)
FERONIKA SIMATUPAANG (D1A016133)
ELISTON MANURUNG (D1A016135)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2017


KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Atas izin-Nya jualah sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Agribinis dengan judul “Kemitraan Sektor Agribinis”. Makalah ini menjelasakan tentang kemitraan dalam bidang secara umum, kondisi kemitraan dalam bidang pertanian saat ini, Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam merampungkan makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari berbagai kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikan untuk masa mendatang.
Jambi, 20 April 2017

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan ............................................................................. 2
II. DESKRIPSI KEMITRAAN ..................................................................... 3
2.1 Pengertian Kemitraan ............................................................................. 3
2.2 Unsur-Unsur Kemitraan ......................................................................... 4
2.3 Tujuan Kemitraan................................................................................... 7
2.4 Bentuk Kemitraan ................................................................................. 9
2.5 Pola Kemitraan ...................................................................................... 10
.III. KERAGAAN KEMITRAAN AGRIBISNIS ........................................ 14
3.1 Peraturan Pemerintah ............................................................................ 14
3.2 Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha Pertanian ............................... 15
IV. PENUTUP ............................................................................................ 19
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 20
5.2 Saran ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 21


. BAB I
PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang
Pendekatan pembangunan pertanian telah mengalami perubahan yang mendasar yaitu dari pendekatan komoditi menjadi pendekatan agribisnis. Hal ini sejalan dengan penegasan paradigma baru pendekatan pembangunan pertanian yang bertujuan membangun sistem agribisnis yang kuat sekaligus pemerataan sehingga berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah. Visi pembangunan pertanian berdasarkan landasan tersebut adalah terwujudnya kehidupan sejahtera khususnya petani, melalui pembangunan sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis berdaya saing, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Sejalan dengan visi pembangunan pertanian yang bertujuan membangun sistem agribisnis yang kuat berkesinambungan antar sektor dan antar wilayah diatas maka sangat diperlukan teknologi pertanian untuk pengembangan komoditas yang berorentasi pasar serta sistem pelayanan bagi petani baik dalam hal teknik budidaya serta penyediaan modal usaha (kredit) dan penyuluhan pertanian sehingga diharapkan dapat meningkatkan komoditas-komoditas pertanian di era pasar bebas. Mengingat usaha pertanian memerlukan permodalan yang besar serta kondisi petani Indonesia yang sangat lemah baik dalam hal manajemen dan profesionalisme serta terbatasnya akses terhadap permodalan, teknologi dan jaringan pemasaran maka diperlukan peran serta pengusaha besar (pemilik modal) untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam bentuk kemitraan. Kemitraan usaha merupakan suatu bentuk kerjasama yang tepat untuk mengatasi permasalahan petani tersebut. Kemitraan dikembangkan atas dasar aspek ekonomis dan dengan pembinaan untuk menghasilkan manfaat jangka panjang. Dampak dari program kemitraan diharapkan tidak hanya menguntungkan para pelaku ekonomi atau perusahaan saja melainkan juga harus membawa dampak positif bagi seluruh kehidupan petani. Hubungan kemitraan diharapkan dapat menyelesaikan segala permasalahan seperti dalam hal permodalan, teknologi, saprodi, penetapan harga serta pemasaran hasil dengan mendapat bantuan dari pihak luar.  Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah maklah ini sebagi sebuah sumber informasi mengenai seluk beluk kemitraan agribisnis, sehingga pentinya kemitraan dalam agribisnis dapat dipahami dan implementasi penerapan kemitraan dapat berjalan dengan lancar yang mana saling menguntungkan diantara pihak-pihak yang bermitra.
    1. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian, unsur-unsur, tujuan, bentuk, dan pola kemitraandalam agribisnis.
2. Mendeskripsikan keragaan/kondisi kekinian kemitraan dalam bidang pertania/agribisnis.
Adapun kegunaan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjadi acuan bagi dosen yang bersangkutan untuk memberikan nilai kepada penulis.
2. Menciptakan bahan bacaan yang membahas tentang kemitraan pada sektor agribisnis.
3. Menjadi sumber referensi bagi pihak lain untuk penulisan karya ilmiah lainnya.
BAB II
DESKRIPSI KEMITRAAN
2.1 Pengertian Kemitraan
Terdapat adanya perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai pengertian kemitraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata mitra adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Menurut Muhammad Jafar Hafsah (1999) kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Sedangkan menurut Keint L. Fletcher (1987) Partnership is the relation which subsists between persons carrying on a business in common with a view of profit. Kesemua definisi tersebut di atas, ternyata belum ada satu definisi yang memberikan definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan karena para sarjana mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan definisi tentang kemitraan. Menurut Keint L. Fletcher dan Kamus Besar BahasaIndonesia memandang  kemitraan sebagai suatu jalinan kerjasama usaha untuk tujuan memperoleh keuntungan. Berbeda dengan Muhammad Jafar Hafsah yang memandang kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Tetapi dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana ini maka akan saling melengkapi diantara pendapat sarjana yang satu dengan yang lainnya, dan apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih sempurna, bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan. Adapun definisi kemitraan menurut peraturan perundang-undangan yang telah dibakukan adalah menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 angka 8 dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1. Menurut peraturan perundang-undangan yang telah dibakukan adalah menurut Undang-Undang Nomor. 9 Tahun1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 “Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan Pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan”. Sedangkan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1.“Kemitraan adalah kerja sama usaha antar a Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”. Pada dasarnya konsep kemitraan (partnership) adalah jenis entitas bisnis yang mana mitra (pemilik) saling berbagi keuntungan atau kerugian bisnis. Kemitraan sering digunakan diperusahaan untuk tujuan perpajakan, sebagai struktur kemitraan umumnya tidak dikenakan pajak atas laba sebelum didistribusikan kepada para mitra (yaitu tidak ada pajak dividen dikenakan). Namun, tergantung pada struktur kemitraan dan yurisdiksi yang mana ia beroperasi, pemilik kemitraan mungkin terkena kewajiban pribadi yang lebih besar daripada mereka yang akan memegang saham dari suatu perusahaan. Pada sistem hukum perdata, kemitraan biasa diikat dengan kontrak (perjanjian) antara individu-individu yang dengan semangat kerjasama setuju untuk melaksanakan suatu usaha, berkontribusi dalam menggabungkan modal, pengetahuan atau kegiatan dan berbagi keuntungan. Mitra mungkin memiliki perjanjian kemitraan, atau deklarasi kemitraan dan di beberapa wilayah hukum seperti perjanjian mungkin terdaftar dan tersedia untuk inspeksi publik. Di banyak negara, kemitraan juga dianggap sebagai hukum badan, meskipun sistem hukum yang berbeda membuat kesimpulan yang berbeda tentang hal ini.
2.2 Unsur-Unsur Kemitraan
Pada dasarnya kemitraan itu merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya. Julius Bobo (2003) menyatakan, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan yaitu:
1. Kerjasama Usaha Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.
2. Antara Pengusaha Besar atau Menengah Dengan Pengusaha Kecil Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.
3. Pembinaan dan Pengembangan Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi.
4. Prinsip Saling Memerlukan, Saling Memperkuat dan Saling Menguntungkan Menurut John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah (1999) kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra. Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan dapat didasarkan pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna sebagai tanggung jawab moral, hal ini disebabkan karena bagaimana pengusaha besar atau menengah mampu untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu (berdaya) mengembangkan usahanya sehingga menjadi mitra yang handal dan tangguh didalam meraih keuntungan untuk kesejahteraan bersama. Hal ini harus disadari juga oleh masingmasing pihak yang bermitra yaitu harus memahami bahwa mereka memiliki perbedaan, menyadari keterbatasan masing-masing, baik yang berkaitan dengan manajemen, penguasaan Ilmu Pengetahuan maupun penguasaan sumber daya, baik Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia (SDM), dengan demikian mereka harus mampu untuk saling isi mengisi serta melengkapi kekurangankekurangan yang ada. Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah “win- win solution partnership” kesadaran dan saling menguntungkan. Pada kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disinilah letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut. Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masing-masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya
2.3 Tujuan Kemitraan
Untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan produktivitas yang optimal diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat, teknologi maju, manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku, tenaga kerja dan lahan. Sinergi ini dikenal dengan kemitraan. Kemitraan yang dihasilkan merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang bermitra dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan yang saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat, dunia usaha baik kecil maupun menengah akan mampu bersaing. Adapun secara lebih rinci tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek, antara lain yaitu:
1. Tujuan dari Aspek EkonomiDalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalampelaksanaan kemitraan secara lebih kongkrit yaitu:
a. Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan masyarakat
b. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan
c. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil
d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional
e. Memperluas kesempatan kerja
f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.
2. Tujuan dari Aspek Sosial dan Budaya Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan usaha kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor percepatan pemberdayaan usaha kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha, atau dengan perkataan lain kemitraan usaha yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, dengan pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha kecil dapat tumbuh dan berkembang sebagai komponen ekonomi yng tangguh dan mndiri. Dipihak lain dengan tumbuh berkembangnya kemitraan usaha ini diharapkan akan disertai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga sekaligus dapat merupkan upaya pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial..
3. Tujuan dari Aspek Teknologi Secara faktual, usaha kecil biasanya mempunyai skala usaha yang kecil dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi pasarnya. Demikian pula dengan status usahanya yang bersifat pribadi atau kekeluargaan; tenaga kerja berasal dari lingkungan setempat; kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen, dan adiministratif sangat sederhana; dan struktur permodalannya sangat bergantung pada modal tetap. Sehubungan dengan keterbatasan khususnya teknologi pada usaha kecil, maka pengusaha besar dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi. Teknologi dilihat dari arti kata bahasanya adalah ilmu yang berkenaan dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan teknologi yang dimaksud adalah berkenaan dengan teknik berproduksi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
4. Tujuan dari Aspek Manajemen Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasil-hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri. Sehingga ada 2 (dua) hal yang menjadi pusat perhatian yaitu : Pertama, peningkatan produktivitas individu yang melaksnakan kerja, dan Kedua, peningkatan produktivitas organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan. Pengusaha kecil yang umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi.
2.4 Bentuk Kemitraan
Bentuk dasar kemitraan adalah kemitraan umum, di mana semua mitra mengelola bisnis dan secara pribadi bertanggung jawab atas hutangnya. Bentuk lain yang telah dikembangkan di sebagian besar negara adalah kemitraan terbatas(LP), di mana mitra terbatas untuk mengelola bisnis dan dengan imbalan terbatas. Mitra Umum mungkin memiliki kewajiban bersamaatau beberapa kewajiban bersama dan tergantung pada keadaan, tanggung jawab mitra terbatas pada investasi mereka dalam kemitraan tersebut. Mitra “diam” (silent partner) adalah mitra yang tetap berbagi dalam keuntungan dan kerugian pada usaha, tetapi tidak terlibat dalam mengelola usaha atau keterlibatan mereka dalam usaha tidak diketahui umum. Mitra ini biasanya hanya menyediakan modal.
2.5 Pola-Pola Kemitraan
Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan adalah sebagai berikut :
1. Pola Inti Plasma. Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha Menengah bertindak sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil sebagai plasma. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma adalah “hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningktan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha”. Kerjasma inti plasma akan diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Dalam program inti plasma ini diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pada pihak usaha kecil selaku pihak plasma yang mendapat bantuan dalam upaya mengembangkan usahanya, maupun pada pihak usaha besar atau usaha menengah yang mempunyai tanggungjawab sosial untuk membina dan mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. Selain itu juga sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha pola inti plasma yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masingmasing pihak yang terlibat. Adapun pihak-pihak terdebut antara lain : (1) Pengusaha Besar(Pemrakarsa),
(2) Pengusaha Kecil (Mitra Usaha) dan
(3) Pemerintah. Peran pengusaha besar selaku (inti) sebagaimana tersebut di atas tentunya juga harus diimbangi dengan peran usaha kecil (plasma) yaitu meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya yang berkelanjutan serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaah menengah. Selanjutnya untuk peran pemerintah akan dibahas lebih lanjut pada sub bab yang tersendiri.
2. Pola Subkontrak. Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa “pola subkontr ak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya. Selanjutnya menurut Soewito (1992), pola subkontraktor adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung penuh pada perusahaan induk. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh karena itu, maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga yang wajar. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan dengan pola subkontrak, bagi perusahaan kecil antara lain adalah dapat menstabilkan dan menambah penjualan, kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen, bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen, perolehan, pengusaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan. Sedangkan bagi perusahaan besar adalah dapat memfokuskan perhatian pada bagian lain, memenuhi kekurangan kapasitas, memperolehsumber pasokan barang dengan harga yang lebih murah daripada impor,selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerjabaik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.
3. Pola Dagang Umum. Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9Tahun 1995, Pola Dagang Umum adalah “hubu ngan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”.Dengan demikian maka dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.
4. Pola Keagenan. Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, pola keagenan adalah “hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha kecil yang mampu melaksanakannya. Selanjutnya menurut Munir Fuady (1997), pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga. Seorang agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal, sehingga pihak prinsipal bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh seorang agen terhadap pihak ketiga.
5. Pola Waralaba. Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Waralaba adalah “ hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen”.Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Dengan demikian, maka dengan pola waralaba ini usaha menengah dan atau usaha besar yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan dan atau menjadi penjamin kredit yang diajukan oleh usaha kecil sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga.
Iklan
6. Pola kemitraan kerjasama operasional. Pola kemitraan ini merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Umumnya kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi lainnya. Terkadang perusahaan mitra juga berperan sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Pola ini sering diterapkan pada usaha perkebunan tebu,tembakau, sayuran dan pertambakan. Dalam pola ini telah diatur tentang kesepakan pembagian hasil dan resiko.

BAB III
KERAGAAN KEMITRAAN AGRIBISNIS
Lahirnya konsep kerjasama atau usaha kemitraan usaha antara perusahaan pertanian (BUMN, swasta, koperasi) dengan pertanian rakyat (petani kecil) didasarkan atas dua argumen. Pertama, adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani). Dimana orang kota dikategorikan mempunyai modal dan pengetahuan, namun kurang dalam sumberdaya lahan dan tenagakerja, sedangkan di sisi lain orang desa dikategorikan mempunyai lahan dan tenaga kerja, namun kurang modal dan kemampuan (ketrampilan). Kedua, adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing-masing subsistem dari sistem agribisnis. Di dalam subsistem usahatani, skala kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala usaha besar, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat tetap (constant cost to scale). Dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan pengadaan saprodi, skala usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to scale) (Sinaga,1987). Dari uraian tersebut memberikan gambaran pentingnya mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif melalui strategi kooperatif atau kemitraan usaha.

3.1 Peraturan Pemerintah
Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari tidak hanya oleh para ahli ekonomi tetapi juga oleh pemerintah, hal antara lain dapat ditelusuri beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang kemitraan usaha. Sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah dikeluarkan peraturan-peraturan tentang kemitraan usaha melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), sehingga muncullah PIR-Perkebunan, PIR-Perunggasan, Tambak Inti Rakyat, Tebu Inti Rakyat, dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian di tindak lanjuti melaui SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya mitra, peningkatan skala usaha, serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Dalam SK Mentan tersebut juga dikemukakan tentang pola-pola kemitraan usaha yang dapat dilaksanakan, antara lain pola : inti-plasma, sub-kontrak, dagang umum, keagenan, atau bentuk-bentuk lain, misalnya Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA); dalam pengawasan dan pengendalian melibatkan Badan Agribisnis, Ditjen Lingkup Deptan, BIP, serta Dinas Teknis Lingkup Deptan. SK Mentan No. 944/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian, tingkat hubungan kemitraan usaha dibobot dan dinilai berdasarkan indikator manajemendan manfaat.

3.2 Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usaha Pertanian
Untuk melihat bagaimana kinerja kelembagaan kemitraan usaha dalam bidang pertanian berikut ini adalah beberapa contoh kasus dari berbagai komoditas pertanian:
1. Kasus Pada Komoditas Padi Implemtasi peraturan tersebut memunculkan berbagai kelembagaan kemitraan usaha. Pada komoditas padi terjadi hubungan kemitraanantara PT Pertani dengan kelompok tani padi dalam penyediaan bahan baku bibit padi bersertifikat, seperti yang dijumpai di daerahdaerah sentra produksi padi di Majalengka, JawaBarat; Klaten, Jawa Tengah; Kediri, Jawa Timur; Sidrap, Sulawesi Selatan, dan Agam,Sumatera Barat. Di samping itu PT Pertani juga bekerjasama dengan kelompok tani kasus di Sidrap, Enrekang dan Pinrang dalam penyediaan bahan baku gabah untuk menghasilkan beras berkualitas (branded rice).Selain itu, juga dijumpai kelembagaan kemitraan usaha antara petani dan kelompok kerja pemanen (pengusaha power thresher) yang dilengkapi power thresherdi pedesaan Sulawesi Selatan.
2. Kasus Pada Komoditas Palawija Pada komoditas palawija dijumpai kelembagaan kemitraan usaha antara Perusahaan Pembibitan (breeding Farm) dariS berbagai perusahaan seperti Arjuna BC, Charoen Phokpand, dengan petani baik secara individu maupun kelompok dalam menyediakan bahan baku bibit jagung hibrida dan jagung composit. Di samping itu juga dijumpai kemitraan usaha antara Perusahan Pakan Ternak dengan petani baik secara individu maupun kelompok tani melalui Pola PIR, seperti yang di jumpai di pedesaan Jawa Timur dan Lampung. Sementara itu, untuk komoditas kedelai pernah terjalin beberapa model kemitraan usaha namun tidak berkelanjutan.
3. Kasus Pada Komoditas Hortikultura Pengembangan kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas hortikultura (Ditjenhort, 2001) mengemukakan terdapat lima skenario pengembangan model usaha hortikultura yaitu :
(1) usaha perorangan;
(2) usaha patungan;
(3) usaha koperasi,
(4) kerjasama atau kemitraan; dan
(5) model manajemen satu atap. Dalam Model Kemitraan Petani–Pengusaha, pengusha–pengusaha besar, pengusaha pengolahan hasil, eksportir atau pedagang hasil hortikultura melakukan kemitraan dengan petani produsen, dengan membentuk kesepakatan harga dan kualitas pembelian produk. Kemitraan dilakukan dengan kelompok tani, sehingga kegiatan produksi dapat dilakukan secara lebih terkoordinir dalam satu kawasan atau hamparan dengan skala usaha tertentu. Namun dalam prakteknya dijumpai kontrak kerjasama baik secara individu maupun kelompok. Seperti yang dijumpai kerjasama usaha antara Perusahaan Daerah Provinsi Bali dengan petani penggarap, PT Bayu Jaya Kusuma dengan kelompok tani Strabery di Sukasada, Buleleng, PT Putra Agro Sejati dengan petani secara individu untuk komoditas lobak, pueleng, gobo, dan wortel, serta ubijalar dan PTSelect Tani dengan petani kentang, kubis, cabe merah dan tomat di Tanah Karo, Sumatera Utara. Di samping itu, juga terdapat kemitraan usaha dalam kerangka pengembangan Sub Terminal Agribisnis, seperti STA di Bali dan Jawa Barat baik untuk memasok pasal lokal, pasar induk, konsumen hotel dan restarant.
4. Kasus Pada Komoditas Perkebunan Pola kemitraan usaha dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dikembangkan pada berbagai komoditas perkebunan Karet, Kopi, Kakao, Kelapa Sawit, dan Tebu. Salah satu Pola Kemitraan Usaha yang berhasi hingga kini adala pada PIR kelapa sawit. Beberapa faktor utama yang menyebabkan keberhasilan PIR Kelapa Sawit adalah (Erwidodo, dkk., 1995). Usaha komoditas perkebunan memiliki economic of scalesehingga pengembangan agribisnis dengan pola PIR yang mencakup areal relatif luas mampu menekan ongkos produksi, dengan kata lain meningkatkan keuntungan; (2) Pelaksanaan PIR perkebunan pada umumnya dilakukan pada lahan transmigrasi yang baru dibangun, sehingga dapat dirancang lebih mudah ukran usaha yang menguntungkan perusahaan inti yang menjadi mitra petani; dan (3) Perusahaan inti tertarik untuk melakukan kemitraan dengan petani karena pasar bahan baku bagi industri pengolahan yang dibangunnya dapat dikuasai, dan adanya pembagian resiko antara perusahaan inti, petani dan pemerintah. Sedang bagi petani, kemitraan tersebut menguntungkan karena komoditas perkebunan yang dikembangkan menjadi miliki jangkauan pasar lebih luas akibat dikembangkannya pabrik pengolahan dan pasar produk yang dihasilkan petani lebih terjamin.
5. Kasus Pada Komoditas Peternakan Dalam operasionalnya pada komoditas peternakan dengan mengambil kasus-kasus kemitraan yang terjadi pada peternakan ayam ras petelur dan pedaging di Jawa Barat dijumpai adanya Pola Inti Rakyat Perunggasan (PIR-Perunggasan). Hasil kajian Saptana (1999) dikenal tiga bentuk PIR-Perunggasan, yaitu:
(1) pola PIR dengan plasma kesepakatan, yaitu jaminanpenyediaan sapronak dan pemasaran hasil;
(2) pola PIR dengan plasma rasio, yaitu kerjasama inti plasma dengan sistem rasio harga, antaraa harga pakan, doc dan obat-obatan dengan harga jual hasil; dan
(3) pola PIR dengan plasma mandiri (tanpa kesepakatan dan rasio harga). Dengan dikeluarkannya Keppres 22/1990 yang pada dasarnya berisi pembebasan skala usaha, membuka kesempatan bagi pemodal besar untuk bergerak dalam bidang budidaya dengan syarat 65% dari produksinya ditujukan ekspor (PMA) dan melakukan pembinaan terhadap peternakan rakyat melalui kemitraan usaha. Bersadarkan uraian diatas merefleksikan beberapa hal sebagai berikut:
(1) pada periode sebelum terjadinyua krisis moneter di Jawa Barat terdapat kemitraan usaha ayam ras dalam bentuk KINAK PRA dan KINAK PIR baik untuk ayam ras petelur maupun pedaging; (2) setelah terjadinya krisis moneter hanya teedapat kemitraan usaha ayam ras dalam bentuk KINAK PRA untuk ayam ras pedaging saja; (3) terdapat penurunan secara tajam baik perusahaan peternakan sebagai inti yaitu turun 25 persen, jumlah peternak plasma yang terlibat turun sebesar 40 persen dan jumlah terrnak yang diusahakan turun seebesar 60 persen untuk KINAK PRA ayam ras pedaging. Hasil kajian Saptana (1999) diperoleh hasil bahwa kemitraan usaha setelah terjadinya krisis mengalami kemerosotan baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pola kemitraan yang semula dalam bentuk KINAK PRA atau PIR kesepakatan mengalami pergeseran kearah pola kerjasama sewa kandang (contract farm) sekaligus jasa tenaga kerja. Artinya peternak hanya sebagai pengelola ayasm ras dengan memperoleh imbalan uang sewa kandang sebesar Rp. 50-75/ekor dan upah kerja Rp. 200-225/ekor, sehingga peternak memperoleh penghasilan sebesar Rp. 250-300/ekor per siklus. Sebagianhanya disewakan saja dimana perusahaan peternakan menaruh buruh dikandang yang disewanya. Sementara itu pola kemitraan usaha KINAK PIR pada kenyataannya hanya merupakan buruh ataau karyawan yang dibayar secara bulanan, meskipun dalam perjanjian ada hak atas pemilikan kandang setelah kredit dari Bank dimana perusahaan peternakan (inti) sebagai penjamin




















IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kemitraan merupakan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antara dua pihak yang didasari oleh rasa kepercayaan. Kemitraan dibidang pertanian dapat dibedakan menjadi kemitraan antar petani, kemitraan antara petani dengan perusahaa, kemitraan petani dengan pemerintah, dan kemitraan petani dengan pasar. Kemitraan tersebut terselenggara dengan menggunakan prisnsip saling mendukung dan saling mengembangkan. Pihak yang lain mendukung dan mengembangkan pihak lainnya dengan cara memenuhi atau menutupi kebutuhan atau kelemahan pihak lainnya, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga dalam kemitraan terjadi terjadi hubungan timbal balik yang diharapkan saling menguntungkan.
4.2 Saran
Sampai saat ini sektor pertanian masih merupakan salah satu sektor yang dalam prakteknya masih banyak ditemukan permasalahan yang merugikan petani. Mulai dari kesulitan dalam akses permodalan, kesulitan dalam mendaptkan input, sampai pada harga jual yang diterima rendah. Untuk itu petani sebaiknya membentuk kemitraan dengan pihak-pihak tertentu untuk mengatasi permasalahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Ditjenhort. 2001. Kebijakan Strategi dan Pengembangan Produksi Hortikultura:
Rencana Strategis dan Program Kerja Tahun 2001-2004. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian Erwidodo.1995.
Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian dalam Prosiding Agribisnis; Peluang dan Tantangan Agribisnis Perkebunan, Peternakan dan Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1991.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah, 1999. Kemitraan Usaha. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. hal. 51 Julius Bobo, 2003.
Transformasi Ekonomi Rakyat. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.Keint L Fletcher, 1987. The Law of Partnership, The Law Book Company Limited.Syidney. Koeswanto, S. 2003.

Rakyat. Ringkasan Kuliah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.